Saturday, November 20, 2010

QUIT

I feel like I wanna quit my English course. Why?

Because I think It costs too expensive but I didn’t get many advantages from that course. My english not developed so much than before. Sering juga saya tertipu, bela belain les meski besoknya ulangan, eh di sana taunya cuma ada game doang. Kesel nggak tuh? -_-

Selain itu ada alasan lain. Ya, saya merasa nggak enakeun di kelas itu. Seriously, terutama kalo yang ngajar Dew (bukan nama sebenarnya). Ngerasa kayak dinomorduakan, mentang mentang kami bukan anak emas di kelas yang asik diajak ngobrol dan smart. Jadi kalo mau dibilang gimana ya, gini, mau suka ato engga, secara nggak sadar ada 2 kubu di kelas kursus English. Kubu anak asik dan kubu anak terpinggirkan. The Popular and The Nerd. Of course, saya masuk Kubu Anak Terpinggirkan. Apa sih bagusnya saya buat masuk Kubu Anak Asik? There's no reason. That's why.

Emang sih, Dew nggak secara langsung kayak gitu, tapi mata Dew selalu 'tersenyum' setiap melihat kubu mereka, i can feel it. Kubu anak asik yang gaul. Mereka nggak terpisahkan, bahkan kalo kelompok kelompokkan mereka selalu bareng, kalo nggak bareng, wah bisa gawat akibatnya. Kayak waktu kemaren, Dew mutusin kita harus dipencar pencar kelompoknya. Tapi ada cewek paling populer, sebut saja Lila (bukan nama sebenarnya) nekuk mukanya abis abisan sampe Dew nyerah. Dew ngasih syarat, mereka boleh sekelompok asal mereka nggak ngomong bahasa Indonesia. Bukannya terima kasih, Lila malah nyeletuk, "Iya, lagian siapa yang bakal ngomong bahasa Indonesia?" sumpah, manja banget.

Terus pernah juga, pas main game, kita sering banget ngomong B. Indo, sampe Dew bener bener pada puncak kemarahannya pas saya nyeritain tentang hantu ke Via pake bahasa Indonesia. "Let's stop the game!" Dia bener bener marah. Padahal, I didn't speak too much bahasa before this time. Hah, stupid timing! yaudah, terus saya minta maaf gitu, dan akhirnya kita ngelanjutin game. Tapi Lila setelah itu ngomong beberapa patah kata bahasa Indonesia, dan Dew ga marah. Sumpah, ga adil banget. Saat itu saya bener bener ngerasa, Dew pilih kasih. Banget.

Dan kemaren, mereka (kubu anak asik) ngomongin, gimana kalo kita bikin kelompok level English Conversation (dikhususkan kepada percakapan bahasa Inggris) dengan anggota yang sama dengan kelompok yang sekarang. Hati saya udah bilang, nggak. Saya nggak mau. emang sih, ada temen temen yang tulus nemenin saya di kelas itu, tapi saya nggak tahan lagi. Kubu anak asik sampe protes ke administrasi, pengen bikin kelompok sendiri. Ya, mereka ingin bikin kelompok untuk MEREKA. Kalo saya nggak ikut kelompok itu, it won't matter, anyway.

Dan ya, mereka semua pada kaya. Semuanya dijemput pake mobil dan oleh orangtua mereka. Mereka MUNGKIN tenang tenang saja, biarin aja buang buang duit 300 ribu tapi kemampuan bahasa Inggrisnya nggak maju drastis. Sebodo amat nggak belajar pas ada tes kenaikan level. Sebodo amat hasil tesnya jelek. Sebodo. Les mah les saja.

Andaikan saya bisa seperti mereka yang "tenang" saja. Saya juga pengen 'kali, diantar jemput les oleh orangtua, les tanpa beban moral dan moril, dan sebagainya. Tapi saya tahu, betapa besarnya perjuangan Ibu, yang sebenarnya bisa sampai rumah sore dengan naik busway, tapi dia lebih memilih untuk ikut pulang dengan mobil kantor bapak meski harus menunggu berjam jam hingga kadang tiba di rumah dini hari hanya untuk menghemat beberapa rupiah untuk saya, anaknya. Lalu Ibu sering begadang dengan tumpukan kertas di hadapannya, dan kemudian harus berangkat pukul setengah enam.

Makanya, perkara les bahasa inggris ini bukan perkara yang mudah. Sejak dulu, I've decided to quit english course at this place, karena even kita belajar verb, itu pun pasti terbatas banget. Apalagi kalau gurunya orang Indonesia, beda sama native teacher yang lebih disiplin.

I've got a decision. I quit next month. I can't stand it anymore. Di samping itu, aku harus belajar bahasa Inggris secara serius, karena sebentar lagi saya mau UN.

Thanks for all the memories, Nightingale. Nightingale WAS a good class once. Tapi sekarang enggak lagi. Now, everything's changed a lot. Actually, I'm dissapointed, but what can I do more? I can't resist them. I CAN'T RESIST THEM. AKU NGGAK TAHAN LAGI DENGAN KUBU MEREKA!

I'm very sure that they never thought anything about me and my feelings. Mereka nggak pernah mikir bagaimana sakitnya perasaan menjadi orang "pinggiran". Mereka nggak pernah mikir, betapa beruntungnya mereka yang nggak perlu mikir aku-buang-buang-uang-cuma-untuk-les-bahasa-yang-nggak-bikin-kemampuanku-meningkat-secara-nyata.

I'M MISERABLE AT BEST.
But yea, people don't care whether you happy or not. Just be happy. And don't forget to be grateful.

No comments:

Post a Comment